05 May 2025
Wacana penghapusan pekerjaan rumah (PR) kembali mencuat setelah beberapa sekolah di Asia mulai menerapkannya sebagai strategi pembelajaran baru. Di Indonesia, diskusi ini turut menciptakan perdebatan publik, terutama di media sosial, antara yang mendukung penghapusan PR sebagai langkah positif untuk kesehatan mental siswa, dan yang menganggapnya sebagai ancaman bagi disiplin belajar.
Pendidikan saat ini tidak lagi bisa dilihat dengan kacamata kuno. Anak-anak generasi Z dan Alpha menghadapi lingkungan digital yang cepat berubah, dan metode pembelajaran juga harus menyesuaikan. Maka muncul pertanyaan besar: apakah sekolah tanpa PR justru bisa meningkatkan kualitas pembelajaran dan pengembangan diri siswa?
1. Belajar Tak Selalu Harus Lewat PR
PR selama ini dianggap sebagai bentuk latihan agar siswa mengulang materi di rumah. Namun, dalam praktiknya, banyak siswa yang malah mengalami tekanan karena tugas yang menumpuk, belum lagi ketimpangan bantuan belajar di rumah yang berbeda-beda antara satu anak dan lainnya. Di sisi lain, negara seperti Finlandia, yang dikenal dengan sistem pendidikan progresif, telah membuktikan bahwa belajar efektif bisa terjadi tanpa PR berlebihan.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia sendiri telah mulai mendorong kurikulum merdeka belajar, yang memberi keleluasaan bagi guru dalam menyusun kegiatan belajar berbasis proyek, bukan sekadar tugas hafalan. Ini selaras dengan transformasi pendidikan digital yang sedang berkembang, di mana siswa didorong untuk belajar secara mandiri dan kontekstual.
2. Relevansinya dengan Dunia Kerja: Belajar Efektif Tanpa Beban Formal
Menariknya, pendekatan ini tidak hanya relevan bagi siswa sekolah, tapi juga bagi dunia kerja. Di lingkungan perusahaan, pendekatan serupa sudah mulai diterapkan, termasuk di sektor logistik dan digital.
Sebagai contoh, PT Salam Pacific Indonesia Lines (SPIL) menerapkan pendekatan pembelajaran yang fleksibel dan terstruktur melalui SPIL University, platform pelatihan daring internal yang dapat diakses oleh seluruh karyawan. Di SPIL, pelatihan tidak bersifat kaku atau formal seperti kelas tradisional. Sebaliknya, setiap karyawan diberikan kesempatan untuk belajar secara aktif melalui modul digital yang ringan, praktikal, dan berbasis tantangan nyata di lapangan.
Tidak ada PR dalam arti konvensional — tetapi ada “tanggung jawab belajar” yang muncul dari rasa ingin berkembang. Dengan sistem ini, karyawan bisa mengikuti pelatihan teknis, kepemimpinan, hingga pengembangan diri kapan saja, tanpa mengganggu ritme kerja harian. Pendekatan ini membuktikan bahwa belajar tidak harus selalu dimaknai sebagai beban administratif, tapi sebagai proses yang relevan dan aplikatif.
3. Pendidikan Abad 21: Dari Anak Sekolah hingga Karyawan Profesional
Baik di sekolah maupun di kantor, esensi pendidikan saat ini adalah memberikan ruang bagi manusia untuk berkembang sesuai kapasitas dan kecepatan belajarnya. Bukan dengan PR atau tugas-tugas yang seragam, melainkan melalui pemecahan masalah nyata, kolaborasi, dan refleksi diri.
Jika sekolah mulai mengadopsi model pembelajaran seperti ini, maka anak-anak akan tumbuh menjadi pembelajar mandiri. Dan ketika mereka memasuki dunia kerja, mereka akan siap untuk menjadi karyawan yang bisa belajar terus menerus tanpa harus disuruh — seperti yang ditumbuhkan di SPIL melalui SPIL University.
Menghapus PR bukan menghapus belajar. Ini adalah ajakan untuk mendesain kembali cara kita belajar — dari ruang kelas hingga ruang kerja.
Karena di dunia yang terus berubah, yang bertahan bukan yang paling banyak tugasnya, tapi yang paling tahu bagaimana cara belajar dan tumbuh.
Tags